Rahasia Dinda
Pada
suatu hari cuaca sangat indah dibulan Agustus. Mentari pagi bersinar hangat dan
udara sejuk dipagi hari. Namun hal itu tak berlaku bagi Dinda, siswi kelas XI
disalah satu SMA ternama di Jakarta. Ia tampak berjalan melewati lorong demi lorong
menuju kelasnya. Sesampainya dikelas ia hanya duduk dibangku nomor dua
miliknya, tanpa satu pun kata terucap darinya.
Pelajaran
nampak berlangsung seperti biasa. Namun Dinda yang biasanya aktif saat diberi
pertanyaan. Untuk kali ini ia hanya diam saja. Entah apa yang sedang mengganggu
pikirannya. Namun sepertinya ada sesuatu yang sengaja ia sembunyikan.
Kring…kring…
kring.. bel pulang pun berbunyi. Semua siswa bergegas merapikan bukunya agar
bisa untuk segera pulang, tak terkecuali Dinda. Ia segera merapikan bukunya dan
meninggalkan kelas seorang diri tanpa ada teman yang menemaninya. Sesampainya
digerbang sekolah ada seorang temannya yang menawarkan tumpangan dan
mengajaknya pulang bersama. Biasanya ia
langsung menerima tawaran tersebut, namun untuk kali ini Dinda menolak tawaran
tersebut tanpa alasan apapun. Dinda memilih untuk pulang seorang diri.
Semua
tugas telah Dinda selesaikan, sore harinya Dinda pergi ke sebuah taman yang tak
jauh dari tempat tinggalnya. Dan tak lupa diary merah muda kesayangan
ditangannya. Sesampainya di taman ia tampak merenungi suatu hal dan memulai
untuk menulis pada buku diarynya. Ia mencurahkan segala isi hati dan
hari-harinya pada diary kesayangan itu. Dan hanya pada diary itulah ia
menceritakan segala curahan hatinya. Dinda memang terkenal tertutup pada
teman-temannya dan bahkan ibunya sendiri. Dia memilih untuk menyimpan masalahnya
sendiri tanpa menceritakannya kepada siapapun selain diarynya. Dahulu Dinda
adalah seorang yang sangat terbuka. Namun sejak seorang teman yang telah lama
ia percayai tiba-tiba mengkhianatinya, ia malah jadi seorang yang sangat
tertutup seperti saat ini.
Dan
disaat dia sedang sibuk-sibuknya menulis segala isi hatinya. Tiba-tiba ada
seorang wanita yang kelihatannya masih sebaya dengan Dinda . Wanita itu duduk
di sebelah Dinda dengan membawa bawaan yang kelihatan sangat berat, nampaknya
seperti pendatang dari jauh. Tampak diraut wajahnya keletihan dan kebingunan,
mungkin ia bingung dengan daerah yang terlihat asing baginya. Dengan nada putus
asa ia menanyakan sebuah alamat yang tertulis pada selembar kertas ditangannya.
Kemudian dengan nada datar Dinda menjawab segala pertanyaan yang dilontarkan
kepadanya dengan singkat tanpa balik bertanya kembali.
Seperti
hari-hari biasanya Dinda berangkat seorang diri, berjalan melewati lorong demi
lorong menuju kelasnya. Sesampainya dikelas lagi-lagi dia hanya duduk dibangku
miliknya untuk menunggu bel masuk berbunyi. Kring…kring…kring… bel masuk pun
berbunyi, semua siswa berhamburan untuk segera masuk menuju kelas. Tampak dari
kejauhan, seorang guru berjalan menuju kelas Dinda. Namun bukan guru pelajaran
yang bersangkutan melainkan Bu Santi, wali kelas mereka. “ Selamat pagi…” kata
bu Santi. “Selamat pagi bu…” jawab semua siswa. Semua siswa bertanya-tanya “Ada
apa ini? “ “Kenapa ibu Santi yang masuk?” saut seorang siswa.“Tenang-tenang...
Ibu hanya ingin member informasi kepada kalian. Mulai hari ini kalian akan
memiliki teman baru.” Jelas ibu Santi. “Nadia, silakan masuk.” Suruh bu Santi
kepada seorang siswi baru yang berdiri didepan pintu. “Nadia perkenalkan diri
kepada teman-teman barumu.” Suruh Ibu Santi. “Baik bu.” Jawab Nadia dengan
mengganggukan kepala. Kemudian Nadia mempeerkenalkan diri kepada
teman-temannya. Pada awalnya Dinda hanya cuek-cuek saja, namun setelah melihat
kearah Nadia. Ia tampak heran, “Sepertinya dia seperti gadis yang bertanya
padaku kemarin.” Gumam dalam hatinya. Dan kebetulan bangku disebelah Dinda
kosong, jadi Bu Santi menyuruh Nadia untuk duduk disamping Dinda. Sejak saat
itu, Nadia jadi berteman dengan Dinda. Namun hal itu tak merubah sifat tertutup
yang dimiliki oleh Dinda.
Semakin
hari, Nadia berusaha untuk semakin dekat dengan Dinda, ia penasaran dengan apa
yang sebenarnya terjadi pada Dinda. Segala usaha telah Nadia lakukan, namun ia
juga belum bisa mengungkap apa yang terjadi pada Dinda. Setiap jam istarahat,
ia selalu mengajak Dinda ke Kantin dan mengobrol bersama. Segala hal ia
ceritakan pada Dinda, walaupun Dinda hanya menjawabnya dengan cuek.Namun, Nadia
tidak akan menyerah sampai ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai
dengan suatu saat Nadia menemukan buku diary merah muda milik Dinda yang
tertinggal dilaci bangku sekolah. Awalnya ia sempat ragu untuk membuka buku
diary tersebut dan membacanya. Namun pada akhirnya ia memberanikan diri untuk
membuka dan membaca buku diary milik Dinda itu. Siapa tahu dari buku diary itu
Nadia dapat membantu Dinda. Karena ia ingin sekali membantu Dinda untuk
menyelesaikan masalahnya dan tak ingin Dinda terlarut- larut dengan masalah
yang sedang ia hadapi.
Keesokan
harinya Nadia bersikap biasa kepada Dinda seperti hari-hari yang lalu. Dalam
hatinya dia merasakan ada sesuatu yang mengganjal jika ia tidak segera
mengatakan semuanya pada Dinda. Jadi ia memutuskan untuk mengajak Dinda makan
siang sepulang sekolah. “Dinda? Nanti habis pulang sekolah makan siang bareng
yuk… “ ajak Nadia. “Iya, tapi aku gak
bisa lama-lama.” Jawab Dinda. “iya, bentar aja gak lama-lama.” Sahut Nadia girang. Dia merasa senang dengan
jawaban Nadia yang menerima ajakannya.
Dalam kesempatan itu Nadia menceritakan
semuanya kepada Dinda, berharap agar Dinda bersifat terbuka padanya. “Dinda…
maaf sebelumnya, kemarin aku tidak sengaja membaca buku diary milikmu. Sekarang
aku udah tahu semuanya, jadi ku mohon padamu untuk menceritakan apa yang sedang
kamu hadapi.” Kata Nadia. Namun, Dinda hanya diam saja. “Mungkin aku terlalu
lancang untuk mengatakan semua ini. Namun , aku tak bermaksud begitu. Aku hanya
ingin membantumu untuk menyelesaikan semua ini. Setidaknya kamu tidak akan menanggung
masalahmu sendiri.” Jelas Dinda. “Kamu tidak mengerti.., kamu tidak pernah
merasakan apa yang sedang aku rasakan.” Jawab Dinda dengan nada marah. “Sebaiknya
kamu tidak usah ikut masuk dalam masalahku. Jika aku menceritakannya, bukan
solusi yang akan aku dapatkan malah nanti semua orang akan mengetahui apa
masalahku.” Bentak Dinda. Dan setelah itu, ia segera pergi meninggalkan Nadia.
Nampaknya
Dinda masih marah dengan kejadian kemarin. Dari pagi hingga siang, ia terus
saja menghiraukan keberadaan Nadia disebelahnya. Bahkan saat Nadia mengajaknya
bicara, Dinda hanya diam saja. Seakan-akan tak ada orang yang mengajaknya
bicara, dia malah pergi meninggalkan Nadia. Hal ini membuat Nadia semakin tidak
nyaman, ia tak tahu lagi harus bagaimana agar Dinda tidak lagi marah kepadanya.
Yang dia tahu hanyalah meminta maaf kepada Dinda, namun bagaimana mau minta
maaf kalau Dinda terus saja menghiraukannya.
Nadia
terus saja berusaha meminta maaf kepada Dinda, tapi Dinda tetap saja tidak
menggubris hal tersebut. Walaupun begitu Nadia tidak putus asa, ia terus berusaha.
Akhirnya Dinda pun luluh juga, mungkin lama-lama dia merasa kasihan juga kepada
Nadia yang terus saja meminta maaf. “Baiklah Nadia aku akan memaafkanmu dan
akan menuruti keinginanmu untuk menceritakan masalahku padamu. Tapi ada
syaratnya.” Kata Dinda. “Terimakasih Dinda, apa syaratnya? Akan aku taati.”
Sahut Nadia dengan semangat.”Syaratnya kamu tidak boleh menceritakan ini kepada
siapa pun. Jika kamu melanggar hal itu, aku tak akan percaya lagi kepadamu.”
Jawab Dinda. Kemudian Dinda menceritakan semua yang terjadi kepada Nadia.
“Dahulu aku adalah seorang yang sangat periang, namun setelah kedua orang tuaku
bercerai aku seperti kehilangan kebahagiaanku. Aku kehilangan kasih sayang dari
mereka berdua.” Terang Dinda. Lalu Nadia memberikan nasihat kepada Dinda untuk
lebih terbuka kepada orang yang benar-benar ia percaya. Nadia berusaha untuk
meyakinkan Dinda bahwa masih ada orang yang lebih berat masalahnya didunia ini.
“Biarpun orang tuamu bercerai tapi kamu masih bisa melihat mereka.Dibanding
anak-anak diluar sana yang bahkan tidak tahu siapa ayah dan ibunya.” Jelas
Nadia. Sejak saat itu mereka menjadi sahabat yang saling terbuka satu sama lain
dan berbagi suka duka yang mereka alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar